Beranda Affi Raish

affiRaish-friends

affiRaish-friends
MA YPI CIWANGI

Kamis, 23 September 2010

Dinda untuk Danil (chapter II)

(Lanjutan)

“Iiiiihhh....!!” Teriaknya.

“Kenapaaaaaa....?!” Kiza melempar tas kecilnya ke sofa. Dia duduk di balik pintu sambil termenung menutupi wajahnya. Dia merasa tidak punya keadilan, mengapa cintanya yang begitu dalam hanya sampai detik ini saja. Dia mengerti, mungkin ini bukan saatnya, bukan saatnya untuk memiliki apa yang kita harapkan.

Kiza beranjak dan duduk di sofa sambil memandangi fotonya bersama Dinda yang dibuat sekitar dua bulan yang lalu. “Ini sahabat, bukan teman biasa.” Bisiknya dalam hati. Sekilas dia melihat fotonya bersama Danil yang sudah sangat lama, lebih kurang saat mereka masih berumur tujuh tahun. Terletak rapi di depan fotonya bersama teman-teman SMP-nya. Lalu Kiza meraihnya, “dan ini sahabat kecil, yang sampai kapanpun almamaternya hanya akan tetap menjadi sahabat, sahabat kecil sejati.”

“Selama beberapa tahun ini kamu emang udah mengisi relung hati aku, bahkan kamu sudah masuk ke puncaknya. Tapi sayang, kamu belum pernah merasakan perasaan yang lain selain perasaan sahabat kepada sahabatnya, dari aku bukan dari Dinda.” Ujarnya.

Suara handphone pun berdering, mengagetkannya. Lalu Kiza menaruh foto itu kembali ke tempatnya, dan mengambil HP yang berada di saku jaketnya.

“Halo...” Sapanya lemah.

“Za, aku sama Danil udah jadian loh. Wah, enggak nyangka banget akhirnya Danil ngucapin itu juga.” Nada bicara Dinda serasa lain dari biasanya. Dia sangat bahagia.

“Selamat yah.” Tukas Kiza tanpa mengubah nada suaranya.

“Za....” Panggil Dinda setelah satu detik mendengar ucapan congratulation dari Kiza. “Lagi sakit yah? Atau lagi bad mood? Maaf yah kalau telefon aku udah ganggu kamu.” Lanjut Dinda.

“Loh, enggak kok, Din. Aku cuma lagi....” Kalimatnya tertahan.

“Mmm.... Za, lagi kenapa?” Tanya Dinda setelah sadar kalau jeda Kiza sudah terlalu lama.

“Lagi sakit kepala. Ma’lum, aku lagi banyak tugas dari tempat aku les.”

“Oh, ya udah.... good luck yah.”

“Ya, makasih.”

“Eh yah, besok pagi aku jemput kamu yah. Kita berangkat sekolah bareng.”

“Iya.”

Klik.

Telefon pun tertutup.

Kiza menaruh handphone-nya di atas meja tempat lampu tidur berada. Kiza lalu menutup seluruh wajahnya dengan bantal. “Huh, kebayang besok bakalan gimana.” Ujarnya dengan nada kesal.

Pagi itu, jam digitalnya menunjukan pukul tujuh kurang lima menit, Kiza duduk di teras depan sambil melamun. Dia merasa tak semangat, semangatnya kendur. Beberapa saat kemudian, Kiza dikagetkan dengan bunyi klakson yang nyaring sampai masuk ke lorong-lorong telinganya. Dinda sudah datang.

“Za, yuk kita berangkat sekarang.” Ajak Dinda di balik kaca mobil sana. Kiza pun bangun dari duduknya dan melangkah menuju mobil Dinda.

Ketika masuk mobil, Dinda sudah mulai membuat ancang-ancang untuk menceritakan kebahagiaannya kemarin sore bersama Danil. Sedangkan Kiza terlihat sangat lesu, dia tak bergairah. Perasaannya masih sakit, sehingga membuat semangatnya kendur. Apalagi kalau mengingat peristiwa di kafe itu, menyakitkan sekali.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah Dinda terus-menerus menceritakan momennya bersama Danil kemarin. Bahkan sudah hampir yang ketiga kalinya, apalagi kalimat pernyataan cinta dari Danil yang terus-menerus Dinda ucapkan. Iyaaa, dan itu membuat paginya Kiza semakin buram.

“Za, kamu tuh bener-bener sahabat paling baik.” Kiza hanya tersenyum, “kalau dulu kamu gak ngenalin aku sama Danil, mungkin sekarang aku sama dia gak akan menjalin hubungan sespesial ini.” Lanjut Dinda. Kiza masih tersenyum dan sesekali mengangguk tanpa mengucapkan apa-apa.

Beberapa saat kemudian sampailah di depan gerbang sekolah. Sosok Danil sudah terlihat dari dalam mobil, Kiza pun agak menunduk. Danil menghampiri Dinda yang baru keluar dari mobil. Menyapanya dan memberikan senyuman welcome dari lubuk hati Danil.

“Aku ke kelas duluan yah, Din.”

“Loh, kok gak bareng aja, Za?” Tanya Dinda.

“Za, kamu udah tahu kan?” Tanya Danil mengalihkan pembicaraan. Kiza mengangguk dan tersenyum. Danil membalas senyumnya sambil mengernyitkan mata sebelah kanannya.

Pada jam istirahat, Kiza tetap berada di kelas. Berulang kali Dinda dan Danil mengajaknya ke kantin tapi dengan alasan dia sedang tidak enak badan akhirnya Kiza pun tetap diam di kelas. Dia merasa hidup ini begitu menyakitkan untuknya, melihat orang yang dicintai bersama sahabat sendiri.

Akhirnya bel tanda pulang pun berbunyi dari setiap sudut lorong sekolah, siswa-siswa mulai membereskan barang-barang yang berserakan di atas meja. Dinda bangkit dari duduknya dan mulai menenteng kamus kecil. “Kita pulang bareng lagi, yuk?” Ajak Dinda.

“Ayo, tapi aku ke toilet dulu yah, kebelet banget nih.”

“Hahaha... iya, cepetan aku tunggu.”

Kiza lari terbirit-birit menuju toilet dan meninggalkan barang-barangnya di atas meja. Dinda kembali duduk dan menaruh kamus saku di atas meja. Tak sengaja tas Kiza tersenggol dan akhirnya jatuh ke bawah bersama buku-buku yang belum sempat Kiza masukan ke dalam tas. Dengan niat baik dalam hatinya Dinda pun mengambil tas Kiza dan memasukan buku-buku yang masih berantakan di atas meja.

Pada saat sedang membuka ret sleting tas Kiza, dia melihat secarik kertas di dalam kantung tas bagian kecil. Di kertas itu tertulis namanya, Kiza dan Danil. Dan yang membuat Dinda penasaran adalah di tengah nama mereka ada lambang cinta. Awalnya Dinda berpikir kalau ini pasti lambang cinta Danil untuknya sebagai seorang kekasih dan lambang cinta Kiza dan Danil sebagai tanda persahabatan. Namun, pada saat membalikan kertas itu tertulis curahan hati Kiza bahwa Kiza sangat sakit hati dengan adanya hubungan Danil dan Dinda yang diluar batas pertemanan. Lebih spesial.

“Kiza....” Ucapnya pelan. “Kalau aku tahu kamu sakit hati, aku pasti gak akan ngelakuin ini.” Lanjutnya dengan suara yang masih pelan.

“Dinda.” Panggil Kiza dengan nada kilat. Dinda pun terkejut dan kelabakan. Kiza langsung menghampiri Dinda yang masih memegang secarik kertas itu. “Kamu lagi apa?” Tanya Kiza dengan suara bergetar.

“Za, seandainya kamu bilang sama aku kalau kamu merasa tersakiti sama hubungan aku dan Danil, pasti aku gak akan mengungkapkan perasaan aku sama Danil dan gak akan nerima Danil jadi pacar aku.” Ujar Dinda dengan mata berlinang air mata.

“Din, kamu tuh ngomong apa sih?” Tanya Kiza berpura-pura tak mengerti.

“Za, aku tahu gimana kamu dan kamu juga tahu gimana aku. Persahabatan ini adalah nyawa buat hidup kita, Za. Saling cerita dan saling jujur adalah kunci dari persahabatan yang baik, dan saling berbagi adalah motto persahabatan kita. Apa kamu udah lupa semua itu, Za?” Mata indah Dinda menjatuhkan butiran-butiran mutiara yang membuat Kiza tak mampu berbuat apa-apa.

“Dinda, aku....-” Kalimat Kiza tertahan dengan kedatangan Danil yang tiba-tiba.

“Loh, kok kamu nangis, Din?” Tanya Danil sambil merangkul pundak Dinda. Dinda melepaskannya dengan perlahan dan menghapus air matanya. Danil terlihat bingung dengan situasi yang sama sekali tak ia mengerti.

“Za.” Dinda menatap Kiza dengan tatapan hangat, lalu Dinda tersenyum. “Aku akan bahagia kalau kamu juga bahagia.” Lanjutnya.

“Ada apa sih ini?” Tanya Danil yang masih belum mengerti.

“Danil, kamu jangan terlalu cuek jadi cowok. Seandainya kamu tahu kalau kamu punya seseorang yang lebih berarti pasti kemaren sore kamu gak akan ngelakuin itu buat aku.” Ujar Dinda. Mata Kiza terbelalak, kaget dengan kalimat itu yang terucap dari bibir Dinda.

“Maksud kamu, Din? Aku bener-bener gak ngerti deh sama adegan kalian ini. Kalian mau ngerjain aku yah? Ah, kalian ini ada-ada aja... ayo cepetan pulang. Pentas seni teater masih tiga hari lagi, jangan buang-buang air matanya sekarang.” Ujar Danil polos.

“Dan, Kiza mempunyai sesuatu hal yang lebih dari perasaan aku ke kamu.” Kata Dinda.

“Dinda!” Kiza mencoba menahannya bicara. Danil menatap Kiza sejenak dan kembali menatap Dinda dengan tatapan heran.

“Yee... kalian ini lagi meranin tokoh yang mana sih?” Tanya Danil dengan nada sewot.

Lalu Dinda meraih tangan Danil, “Kiza sayang sama kamu, bukan sebatas persahabatan tapi lebih dari itu. Dan selayaknya kamu tahu itu.” Ucapnya perlahan.

“Dinda, aku pernah bilang sama kamu kalau aku akan selalu mendukung apa yang kamu inginkan.” Ujar Kiza dengan suara gemetar.

“Tapi bukan dengan cara kayak gini, kamu harus mengorbankan perasaan kamu juga.”

“Za, kamuuu....” Danil akhirnya mulai mengerti.

“Iya, aku emang sayang sama kamu, lebih dari batasan persahabatan.” Jawab Kiza dengan tegas. “Tapi aku gak mau dapetin kamu dengan cara perasaan yang sepihak. Aku tahu kamu sayang banget sama Dinda, lebih dari apapun. Dan aku ikhlas menerima itu semua, meskipun aku sakit hati.” Lanjut Kiza sambil menatap mata Danil.

“Za, maafin aku, Za. Akuu....-” Danil pun terlihat panik.

“Enggak, kamu gak perlu minta maaf sama aku, Dan. Kamu layak dapetin ini, dapetin apa yang kamu inginkan selama ini.” Kiza tersenyum. “Din, aku harap dengan diketahuinya perasaan aku ke Danil lebih dari sahabat gak akan merusak hubungan kamu sama Danil kedepannya.” Ujar Kiza sambil memandang Dinda dengan tatapan yang penuh kedamaian dan keikhlasan.

“Aku ikhlas.” Ujar Kiza, dan Dinda pun memeluknya erat.

“Makasih atas pengorbanan kamu selama ini yah, Za.” Dinda terisak menangis dipelukan Kiza, “aku akan merasa bersalah kalau sampai kamu tersakiti sama hubungan aku dan Danil.”

“Din, aku akan belajar untuk mengikhlaskan sesuatu yang bukan hakku.” Ucap Kiza sambil melepaskan pelukan Dinda. Dinda masih menangis, ia merasa sangat bersalah karena telah acuh pada perasaan Kiza yang sebenarnya. “Nah, sekarang kalian harus baik-baik yah. Aku gak mau liat kalian berantem, apalagi berantemain aku.... bisa-bisa aku jadi kalah tenar sama artis-artis di sekolah kita ini. Hahahaa....” Ujar Kiza sambil tertawa.

“Ah, kamuuu....” Dinda pun akhirnya tersenyum kembali.

The end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

abis baca2 , comment yaa... amaL loch ^_^