Beranda Affi Raish

affiRaish-friends

affiRaish-friends
MA YPI CIWANGI

Kamis, 23 September 2010

Dinda untuk Danil (chapter I)

Dinda dan Kiza adalah dua sahabat yang sangat dekat, keakraban mereka mengalahkan segalanya. Jika ada bunga dan kumbang yang selalu menyatu maka mereka lebih dari itu, keakraban mereka membuat orang-orang di sekitarnya merasa cemburu. Mereka adalah dua insan yang selalu bersama, saling jujur adalah salahsatu kunci utama terjalinnya persabahatan yang baik, dan saling bercerita adalah salahsatu kewajiban yang harus ada dalam judul persahabatan.

Namun, pada suatu hari ketika Kiza mulai merasakan jatuh cintanya yang pertama kali, Kiza enggan bercerita pada Dinda, karena ada sesuatu yang menghambatnya, bukan cegahan dari seseorang melainkan cegahan dari hatinya sendiri.

Dari sanalah Kiza mulai menutup cerita kehidupan pribadinya untuk Dinda, dia tak lagi menceritakan tentang kisah hidupnya, terutama masalah cinta. Kiza selalu menolak jika ia ditanyai oleh Dinda prihal masalah cintanya yang tak pernah Dinda ketahui. Maklum, selama lima tahun bersahabat Dinda tidak pernah mendengar kata ‘aku jatuh cinta’ dari seorang Kiza. Cenderung Kiza lebih tertutup masalah perasaan, dia tidak suka mengumbar. Berbeda dengan Dinda, dia selalu menceritakan apapun yang berkaitan dengan cinta kepada lawan jenis, saat dia jatuh cinta, saat dia bahagia karena cinta, saat dia merasakan sakit ketika bercinta dan saat dia menemukan pengganti cinta yang lama.

“Za, kalau suatu saat nanti aku jadian sama Danil, gimana yah?” Tanya Dinda.

“Mmm... bagus.” Katanya sembari tak mendelik sedikitpun, Kiza masih asyik dengan buku komik Jepangnya.

“Apa gak ada komentar lain selain itu?” Tanya Dinda yang mulai merasa tak enak dengan sikap Kiza yang dingin.

“Apa?” Tanya Kiza yang masih tak menoleh Dinda sedikitpun.

“Ya apa kek... kamu dukung aku gak, Za?”

“Mmm... aku... aku... tentunya dukung kamu. Apapun yang kamu pilih berarti itu terbaik buat kamu, Din.”

“Sip, kamu temen aku yang paling the best lah....” Kata Dinda sambil merangkul pundak Kiza dengan akrabnya.

Mereka masuk ke kelas bersama. Dinda masih merangkul pundak sohibnya, selama perjalanan menuju kelas yang berada di lantai dasar terus-menerus Dinda menceritakan kisahnya dengan Danil seminggu lalu, saat Dinda mengikuti acara pameran di sebuah musiem tradisional di daerah sekitar Bandung.

“Za, kamu suka gak sama Danil?” Tanyanya kaget.

Kiza terkejut, “apa? Suka? Maksud kamu, Din?”

“Iya... maksud aku, kamu suka gak sama Danil?” Tanya Dinda kedua kalinya.

“Emangnya kenapa?”

“Ya enggak, kalau kamu juga suka sama Danil bahkan perasaan kamu melebihi perasaan aku, ya... aku ikhlas buat ngasih Danil ke kamu. Aku gak mungkin egois, Za... apalagi sama sahabat sendiri.” Ujar Dinda dengan sikap acuh.

Kiza terdiam sejenak, memikirkan sesuatu hal yang dipertanyakan oleh Dinda padanya. Beberapa saat kemudian Kiza menjawab. “Mmm... enggak lah, Din. Lagian aku gak punya perasaan apa-apa sama Danil. Danil itu temen aku dari kecil, aku tahu dia gimana bahkan aku sama keluarga udah nganggep dia sodara. Jadi, kalaupun aku ada perasaan ke dia pasti gak jauh-jauhlah... perasaan sebatas sodara aja.” Dinda tersenyum sedangkan di sisi lain perasaan Kiza terluka, dia tak menyangka kalau Dinda akan mempertanyakan perasaannya pada Danil, bahkan dia juga tidak menyangka kalau dia akan menjawab pertanyaan Dinda seperti ini. Ini benar-benar di luar dugaan.

Pulang sekolah Kiza memilih untuk pulang sendiri dengan alasan dia akan menemui papanya di kantor. Padahal di dalam hatinya dia sudah berencana untuk mengikuti Dinda ke kafe. Kata Dinda siang ini dia akan janjian dengan Danil, karena penasaran akhirnya rencana itu Kiza laksanakan.

“Maafin aku, Dinda. Aku gak ada maksud untuk buntutin kamu dengan alasan-alasan yang buruk tapi aku ngelakuin ini demi hati aku sendiri, biar aku bisa sadar dengan apa yang aku lihat kalau Danil emang gak akan pernah jadi milik aku selagi kamu masih cinta sama dia, dan begitupun sebaliknya.” Bisik hatinya.

Kiza sudah sampai di depan kafe. Ya, sebuah kafe yang tak asing lagi baginya. Kafe ini sering menjadi tempat berkumpulnya dengan Danil dan Dinda. Lalu, beberapa saat kemudian dia melihat Dinda turun dari mobil, berpakaian rapi dengan rambut hitam kelam yang terurai panjang sampai punggung, dengan hiasan bando kain putih yang membuat Dinda tampak bak anak gadis sempurna. Dinda begitu mempesona, pantas saja Danil menyukainya. Kemudian Dinda duduk di meja nomor tujuh, nomor favoritnya. Apapun pasti ada nomor tujuh, sampai-sampai entah kebetulan atau memang sengaja, nomor rumahnya pun 107.

Tak berapa lama datanglah Danil menghampiri Dinda. Wajah mereka tampak saling tegang, Kiza sudah bisa menebaknya, pasti akan ada sesuatu hal yang terjadi yang akan membuatnya terluka dan Kiza yakin kalau mereka akan memulai hari yang baru. Beberapa saat lagi. Iya, begitu menyakitkan ketika dia melihat mereka saling berjabat tangan dan saling melempar senyum satu sama lain. Ini memang bukan seberapa ketimbang nantinya dia mendengar langsung kata cinta dari Danil untuk Dinda, sahabatnya sendiri.

Cinta.

Hhhmmm.... Kiza pun menghela nafas sejenak.

Lima menit kemudian Kiza memasuki kafe itu lewat pintu lain. Kemudian dia duduk di samping meja Dinda dan Danil. Untung saja Dinda dan Danil tidak mengenali Kiza karena Kiza memakai pakaian yang tidak seumuran dengan usianya, dia memakai kaca mata hitam dengan leher yang dibaluti syal. Hhhmm... ini memang perbuatan yang konyol.

“Mau pesan apa, Mba?” Tanya seorang pelayan yang berhasil membuatnya merasa hampir ketahuan, Kiza mengambil sebuah menu-book dari seorang pelayan itu.

“Jus Anggur.” Jawab Kiza dengan suara pelan.

“Hanya itu?” Tanya pelayan itu meragu.

“Hhhmmm... iya.” Pelayan itupun pergi.

Tak selang berapa lama, basa-basi diantara mereka pun akhirnya berakhir dengan jeda yang agak lama dari Danil. Menegangkan. Itulah perasaan yang patut dirasakan oleh Dinda. Yup, Danil pun akhirnya mulai melakukan romance action. Sakit sekali hati Kiza ketika mencoba meliriknya, memang hanya mimpi kalau Kiza berharap pada seorang laki-laki yang juga disukai oleh sahabatnya sendiri, meskipun dengan sikap bijaksana sahabatnya menawarkan perasaannya untuk dinomorduakan.

Ya, akhirnya sudah terdengar jelas ketika jawaban teguh dan yakin dari Dinda, menjawab pertanyaan Danil dengan jawaban yang tegas dan sesuai dengan harapannya. Ini memang menyakitkan, hati Kiza seolah pecah dan retak. Kata cinta itu akhirnya dia dengar dari Danil, tetapi bukan untuknya, melainkan untuk sahabatnya, Dinda.

Kiza menghapus air matanya dengan kilat, lalu menaruh uang dua puluh ribuan di atas menu-book, kemudian dia pergi dengan tergesa menuju mobil sembari membawa luka.

Kiza memasuki kamarnya dengan tergesa sembari menghapus air matanya yang terus-menerus mengalir. “Kiza kenapa, Pa?” Sekilas pertanyaan singkat dari Mama membuat Kiza berhenti sejenak di bagian tengah anak tangga. Lalu Kiza kembali berlari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

abis baca2 , comment yaa... amaL loch ^_^