Beranda Affi Raish

affiRaish-friends

affiRaish-friends
MA YPI CIWANGI

Kamis, 23 September 2010

Dinda untuk Danil (chapter II)

(Lanjutan)

“Iiiiihhh....!!” Teriaknya.

“Kenapaaaaaa....?!” Kiza melempar tas kecilnya ke sofa. Dia duduk di balik pintu sambil termenung menutupi wajahnya. Dia merasa tidak punya keadilan, mengapa cintanya yang begitu dalam hanya sampai detik ini saja. Dia mengerti, mungkin ini bukan saatnya, bukan saatnya untuk memiliki apa yang kita harapkan.

Kiza beranjak dan duduk di sofa sambil memandangi fotonya bersama Dinda yang dibuat sekitar dua bulan yang lalu. “Ini sahabat, bukan teman biasa.” Bisiknya dalam hati. Sekilas dia melihat fotonya bersama Danil yang sudah sangat lama, lebih kurang saat mereka masih berumur tujuh tahun. Terletak rapi di depan fotonya bersama teman-teman SMP-nya. Lalu Kiza meraihnya, “dan ini sahabat kecil, yang sampai kapanpun almamaternya hanya akan tetap menjadi sahabat, sahabat kecil sejati.”

“Selama beberapa tahun ini kamu emang udah mengisi relung hati aku, bahkan kamu sudah masuk ke puncaknya. Tapi sayang, kamu belum pernah merasakan perasaan yang lain selain perasaan sahabat kepada sahabatnya, dari aku bukan dari Dinda.” Ujarnya.

Suara handphone pun berdering, mengagetkannya. Lalu Kiza menaruh foto itu kembali ke tempatnya, dan mengambil HP yang berada di saku jaketnya.

“Halo...” Sapanya lemah.

“Za, aku sama Danil udah jadian loh. Wah, enggak nyangka banget akhirnya Danil ngucapin itu juga.” Nada bicara Dinda serasa lain dari biasanya. Dia sangat bahagia.

“Selamat yah.” Tukas Kiza tanpa mengubah nada suaranya.

“Za....” Panggil Dinda setelah satu detik mendengar ucapan congratulation dari Kiza. “Lagi sakit yah? Atau lagi bad mood? Maaf yah kalau telefon aku udah ganggu kamu.” Lanjut Dinda.

“Loh, enggak kok, Din. Aku cuma lagi....” Kalimatnya tertahan.

“Mmm.... Za, lagi kenapa?” Tanya Dinda setelah sadar kalau jeda Kiza sudah terlalu lama.

“Lagi sakit kepala. Ma’lum, aku lagi banyak tugas dari tempat aku les.”

“Oh, ya udah.... good luck yah.”

“Ya, makasih.”

“Eh yah, besok pagi aku jemput kamu yah. Kita berangkat sekolah bareng.”

“Iya.”

Klik.

Telefon pun tertutup.

Kiza menaruh handphone-nya di atas meja tempat lampu tidur berada. Kiza lalu menutup seluruh wajahnya dengan bantal. “Huh, kebayang besok bakalan gimana.” Ujarnya dengan nada kesal.

Pagi itu, jam digitalnya menunjukan pukul tujuh kurang lima menit, Kiza duduk di teras depan sambil melamun. Dia merasa tak semangat, semangatnya kendur. Beberapa saat kemudian, Kiza dikagetkan dengan bunyi klakson yang nyaring sampai masuk ke lorong-lorong telinganya. Dinda sudah datang.

“Za, yuk kita berangkat sekarang.” Ajak Dinda di balik kaca mobil sana. Kiza pun bangun dari duduknya dan melangkah menuju mobil Dinda.

Ketika masuk mobil, Dinda sudah mulai membuat ancang-ancang untuk menceritakan kebahagiaannya kemarin sore bersama Danil. Sedangkan Kiza terlihat sangat lesu, dia tak bergairah. Perasaannya masih sakit, sehingga membuat semangatnya kendur. Apalagi kalau mengingat peristiwa di kafe itu, menyakitkan sekali.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah Dinda terus-menerus menceritakan momennya bersama Danil kemarin. Bahkan sudah hampir yang ketiga kalinya, apalagi kalimat pernyataan cinta dari Danil yang terus-menerus Dinda ucapkan. Iyaaa, dan itu membuat paginya Kiza semakin buram.

“Za, kamu tuh bener-bener sahabat paling baik.” Kiza hanya tersenyum, “kalau dulu kamu gak ngenalin aku sama Danil, mungkin sekarang aku sama dia gak akan menjalin hubungan sespesial ini.” Lanjut Dinda. Kiza masih tersenyum dan sesekali mengangguk tanpa mengucapkan apa-apa.

Beberapa saat kemudian sampailah di depan gerbang sekolah. Sosok Danil sudah terlihat dari dalam mobil, Kiza pun agak menunduk. Danil menghampiri Dinda yang baru keluar dari mobil. Menyapanya dan memberikan senyuman welcome dari lubuk hati Danil.

“Aku ke kelas duluan yah, Din.”

“Loh, kok gak bareng aja, Za?” Tanya Dinda.

“Za, kamu udah tahu kan?” Tanya Danil mengalihkan pembicaraan. Kiza mengangguk dan tersenyum. Danil membalas senyumnya sambil mengernyitkan mata sebelah kanannya.

Pada jam istirahat, Kiza tetap berada di kelas. Berulang kali Dinda dan Danil mengajaknya ke kantin tapi dengan alasan dia sedang tidak enak badan akhirnya Kiza pun tetap diam di kelas. Dia merasa hidup ini begitu menyakitkan untuknya, melihat orang yang dicintai bersama sahabat sendiri.

Akhirnya bel tanda pulang pun berbunyi dari setiap sudut lorong sekolah, siswa-siswa mulai membereskan barang-barang yang berserakan di atas meja. Dinda bangkit dari duduknya dan mulai menenteng kamus kecil. “Kita pulang bareng lagi, yuk?” Ajak Dinda.

“Ayo, tapi aku ke toilet dulu yah, kebelet banget nih.”

“Hahaha... iya, cepetan aku tunggu.”

Kiza lari terbirit-birit menuju toilet dan meninggalkan barang-barangnya di atas meja. Dinda kembali duduk dan menaruh kamus saku di atas meja. Tak sengaja tas Kiza tersenggol dan akhirnya jatuh ke bawah bersama buku-buku yang belum sempat Kiza masukan ke dalam tas. Dengan niat baik dalam hatinya Dinda pun mengambil tas Kiza dan memasukan buku-buku yang masih berantakan di atas meja.

Pada saat sedang membuka ret sleting tas Kiza, dia melihat secarik kertas di dalam kantung tas bagian kecil. Di kertas itu tertulis namanya, Kiza dan Danil. Dan yang membuat Dinda penasaran adalah di tengah nama mereka ada lambang cinta. Awalnya Dinda berpikir kalau ini pasti lambang cinta Danil untuknya sebagai seorang kekasih dan lambang cinta Kiza dan Danil sebagai tanda persahabatan. Namun, pada saat membalikan kertas itu tertulis curahan hati Kiza bahwa Kiza sangat sakit hati dengan adanya hubungan Danil dan Dinda yang diluar batas pertemanan. Lebih spesial.

“Kiza....” Ucapnya pelan. “Kalau aku tahu kamu sakit hati, aku pasti gak akan ngelakuin ini.” Lanjutnya dengan suara yang masih pelan.

“Dinda.” Panggil Kiza dengan nada kilat. Dinda pun terkejut dan kelabakan. Kiza langsung menghampiri Dinda yang masih memegang secarik kertas itu. “Kamu lagi apa?” Tanya Kiza dengan suara bergetar.

“Za, seandainya kamu bilang sama aku kalau kamu merasa tersakiti sama hubungan aku dan Danil, pasti aku gak akan mengungkapkan perasaan aku sama Danil dan gak akan nerima Danil jadi pacar aku.” Ujar Dinda dengan mata berlinang air mata.

“Din, kamu tuh ngomong apa sih?” Tanya Kiza berpura-pura tak mengerti.

“Za, aku tahu gimana kamu dan kamu juga tahu gimana aku. Persahabatan ini adalah nyawa buat hidup kita, Za. Saling cerita dan saling jujur adalah kunci dari persahabatan yang baik, dan saling berbagi adalah motto persahabatan kita. Apa kamu udah lupa semua itu, Za?” Mata indah Dinda menjatuhkan butiran-butiran mutiara yang membuat Kiza tak mampu berbuat apa-apa.

“Dinda, aku....-” Kalimat Kiza tertahan dengan kedatangan Danil yang tiba-tiba.

“Loh, kok kamu nangis, Din?” Tanya Danil sambil merangkul pundak Dinda. Dinda melepaskannya dengan perlahan dan menghapus air matanya. Danil terlihat bingung dengan situasi yang sama sekali tak ia mengerti.

“Za.” Dinda menatap Kiza dengan tatapan hangat, lalu Dinda tersenyum. “Aku akan bahagia kalau kamu juga bahagia.” Lanjutnya.

“Ada apa sih ini?” Tanya Danil yang masih belum mengerti.

“Danil, kamu jangan terlalu cuek jadi cowok. Seandainya kamu tahu kalau kamu punya seseorang yang lebih berarti pasti kemaren sore kamu gak akan ngelakuin itu buat aku.” Ujar Dinda. Mata Kiza terbelalak, kaget dengan kalimat itu yang terucap dari bibir Dinda.

“Maksud kamu, Din? Aku bener-bener gak ngerti deh sama adegan kalian ini. Kalian mau ngerjain aku yah? Ah, kalian ini ada-ada aja... ayo cepetan pulang. Pentas seni teater masih tiga hari lagi, jangan buang-buang air matanya sekarang.” Ujar Danil polos.

“Dan, Kiza mempunyai sesuatu hal yang lebih dari perasaan aku ke kamu.” Kata Dinda.

“Dinda!” Kiza mencoba menahannya bicara. Danil menatap Kiza sejenak dan kembali menatap Dinda dengan tatapan heran.

“Yee... kalian ini lagi meranin tokoh yang mana sih?” Tanya Danil dengan nada sewot.

Lalu Dinda meraih tangan Danil, “Kiza sayang sama kamu, bukan sebatas persahabatan tapi lebih dari itu. Dan selayaknya kamu tahu itu.” Ucapnya perlahan.

“Dinda, aku pernah bilang sama kamu kalau aku akan selalu mendukung apa yang kamu inginkan.” Ujar Kiza dengan suara gemetar.

“Tapi bukan dengan cara kayak gini, kamu harus mengorbankan perasaan kamu juga.”

“Za, kamuuu....” Danil akhirnya mulai mengerti.

“Iya, aku emang sayang sama kamu, lebih dari batasan persahabatan.” Jawab Kiza dengan tegas. “Tapi aku gak mau dapetin kamu dengan cara perasaan yang sepihak. Aku tahu kamu sayang banget sama Dinda, lebih dari apapun. Dan aku ikhlas menerima itu semua, meskipun aku sakit hati.” Lanjut Kiza sambil menatap mata Danil.

“Za, maafin aku, Za. Akuu....-” Danil pun terlihat panik.

“Enggak, kamu gak perlu minta maaf sama aku, Dan. Kamu layak dapetin ini, dapetin apa yang kamu inginkan selama ini.” Kiza tersenyum. “Din, aku harap dengan diketahuinya perasaan aku ke Danil lebih dari sahabat gak akan merusak hubungan kamu sama Danil kedepannya.” Ujar Kiza sambil memandang Dinda dengan tatapan yang penuh kedamaian dan keikhlasan.

“Aku ikhlas.” Ujar Kiza, dan Dinda pun memeluknya erat.

“Makasih atas pengorbanan kamu selama ini yah, Za.” Dinda terisak menangis dipelukan Kiza, “aku akan merasa bersalah kalau sampai kamu tersakiti sama hubungan aku dan Danil.”

“Din, aku akan belajar untuk mengikhlaskan sesuatu yang bukan hakku.” Ucap Kiza sambil melepaskan pelukan Dinda. Dinda masih menangis, ia merasa sangat bersalah karena telah acuh pada perasaan Kiza yang sebenarnya. “Nah, sekarang kalian harus baik-baik yah. Aku gak mau liat kalian berantem, apalagi berantemain aku.... bisa-bisa aku jadi kalah tenar sama artis-artis di sekolah kita ini. Hahahaa....” Ujar Kiza sambil tertawa.

“Ah, kamuuu....” Dinda pun akhirnya tersenyum kembali.

The end

Dinda untuk Danil (chapter I)

Dinda dan Kiza adalah dua sahabat yang sangat dekat, keakraban mereka mengalahkan segalanya. Jika ada bunga dan kumbang yang selalu menyatu maka mereka lebih dari itu, keakraban mereka membuat orang-orang di sekitarnya merasa cemburu. Mereka adalah dua insan yang selalu bersama, saling jujur adalah salahsatu kunci utama terjalinnya persabahatan yang baik, dan saling bercerita adalah salahsatu kewajiban yang harus ada dalam judul persahabatan.

Namun, pada suatu hari ketika Kiza mulai merasakan jatuh cintanya yang pertama kali, Kiza enggan bercerita pada Dinda, karena ada sesuatu yang menghambatnya, bukan cegahan dari seseorang melainkan cegahan dari hatinya sendiri.

Dari sanalah Kiza mulai menutup cerita kehidupan pribadinya untuk Dinda, dia tak lagi menceritakan tentang kisah hidupnya, terutama masalah cinta. Kiza selalu menolak jika ia ditanyai oleh Dinda prihal masalah cintanya yang tak pernah Dinda ketahui. Maklum, selama lima tahun bersahabat Dinda tidak pernah mendengar kata ‘aku jatuh cinta’ dari seorang Kiza. Cenderung Kiza lebih tertutup masalah perasaan, dia tidak suka mengumbar. Berbeda dengan Dinda, dia selalu menceritakan apapun yang berkaitan dengan cinta kepada lawan jenis, saat dia jatuh cinta, saat dia bahagia karena cinta, saat dia merasakan sakit ketika bercinta dan saat dia menemukan pengganti cinta yang lama.

“Za, kalau suatu saat nanti aku jadian sama Danil, gimana yah?” Tanya Dinda.

“Mmm... bagus.” Katanya sembari tak mendelik sedikitpun, Kiza masih asyik dengan buku komik Jepangnya.

“Apa gak ada komentar lain selain itu?” Tanya Dinda yang mulai merasa tak enak dengan sikap Kiza yang dingin.

“Apa?” Tanya Kiza yang masih tak menoleh Dinda sedikitpun.

“Ya apa kek... kamu dukung aku gak, Za?”

“Mmm... aku... aku... tentunya dukung kamu. Apapun yang kamu pilih berarti itu terbaik buat kamu, Din.”

“Sip, kamu temen aku yang paling the best lah....” Kata Dinda sambil merangkul pundak Kiza dengan akrabnya.

Mereka masuk ke kelas bersama. Dinda masih merangkul pundak sohibnya, selama perjalanan menuju kelas yang berada di lantai dasar terus-menerus Dinda menceritakan kisahnya dengan Danil seminggu lalu, saat Dinda mengikuti acara pameran di sebuah musiem tradisional di daerah sekitar Bandung.

“Za, kamu suka gak sama Danil?” Tanyanya kaget.

Kiza terkejut, “apa? Suka? Maksud kamu, Din?”

“Iya... maksud aku, kamu suka gak sama Danil?” Tanya Dinda kedua kalinya.

“Emangnya kenapa?”

“Ya enggak, kalau kamu juga suka sama Danil bahkan perasaan kamu melebihi perasaan aku, ya... aku ikhlas buat ngasih Danil ke kamu. Aku gak mungkin egois, Za... apalagi sama sahabat sendiri.” Ujar Dinda dengan sikap acuh.

Kiza terdiam sejenak, memikirkan sesuatu hal yang dipertanyakan oleh Dinda padanya. Beberapa saat kemudian Kiza menjawab. “Mmm... enggak lah, Din. Lagian aku gak punya perasaan apa-apa sama Danil. Danil itu temen aku dari kecil, aku tahu dia gimana bahkan aku sama keluarga udah nganggep dia sodara. Jadi, kalaupun aku ada perasaan ke dia pasti gak jauh-jauhlah... perasaan sebatas sodara aja.” Dinda tersenyum sedangkan di sisi lain perasaan Kiza terluka, dia tak menyangka kalau Dinda akan mempertanyakan perasaannya pada Danil, bahkan dia juga tidak menyangka kalau dia akan menjawab pertanyaan Dinda seperti ini. Ini benar-benar di luar dugaan.

Pulang sekolah Kiza memilih untuk pulang sendiri dengan alasan dia akan menemui papanya di kantor. Padahal di dalam hatinya dia sudah berencana untuk mengikuti Dinda ke kafe. Kata Dinda siang ini dia akan janjian dengan Danil, karena penasaran akhirnya rencana itu Kiza laksanakan.

“Maafin aku, Dinda. Aku gak ada maksud untuk buntutin kamu dengan alasan-alasan yang buruk tapi aku ngelakuin ini demi hati aku sendiri, biar aku bisa sadar dengan apa yang aku lihat kalau Danil emang gak akan pernah jadi milik aku selagi kamu masih cinta sama dia, dan begitupun sebaliknya.” Bisik hatinya.

Kiza sudah sampai di depan kafe. Ya, sebuah kafe yang tak asing lagi baginya. Kafe ini sering menjadi tempat berkumpulnya dengan Danil dan Dinda. Lalu, beberapa saat kemudian dia melihat Dinda turun dari mobil, berpakaian rapi dengan rambut hitam kelam yang terurai panjang sampai punggung, dengan hiasan bando kain putih yang membuat Dinda tampak bak anak gadis sempurna. Dinda begitu mempesona, pantas saja Danil menyukainya. Kemudian Dinda duduk di meja nomor tujuh, nomor favoritnya. Apapun pasti ada nomor tujuh, sampai-sampai entah kebetulan atau memang sengaja, nomor rumahnya pun 107.

Tak berapa lama datanglah Danil menghampiri Dinda. Wajah mereka tampak saling tegang, Kiza sudah bisa menebaknya, pasti akan ada sesuatu hal yang terjadi yang akan membuatnya terluka dan Kiza yakin kalau mereka akan memulai hari yang baru. Beberapa saat lagi. Iya, begitu menyakitkan ketika dia melihat mereka saling berjabat tangan dan saling melempar senyum satu sama lain. Ini memang bukan seberapa ketimbang nantinya dia mendengar langsung kata cinta dari Danil untuk Dinda, sahabatnya sendiri.

Cinta.

Hhhmmm.... Kiza pun menghela nafas sejenak.

Lima menit kemudian Kiza memasuki kafe itu lewat pintu lain. Kemudian dia duduk di samping meja Dinda dan Danil. Untung saja Dinda dan Danil tidak mengenali Kiza karena Kiza memakai pakaian yang tidak seumuran dengan usianya, dia memakai kaca mata hitam dengan leher yang dibaluti syal. Hhhmm... ini memang perbuatan yang konyol.

“Mau pesan apa, Mba?” Tanya seorang pelayan yang berhasil membuatnya merasa hampir ketahuan, Kiza mengambil sebuah menu-book dari seorang pelayan itu.

“Jus Anggur.” Jawab Kiza dengan suara pelan.

“Hanya itu?” Tanya pelayan itu meragu.

“Hhhmmm... iya.” Pelayan itupun pergi.

Tak selang berapa lama, basa-basi diantara mereka pun akhirnya berakhir dengan jeda yang agak lama dari Danil. Menegangkan. Itulah perasaan yang patut dirasakan oleh Dinda. Yup, Danil pun akhirnya mulai melakukan romance action. Sakit sekali hati Kiza ketika mencoba meliriknya, memang hanya mimpi kalau Kiza berharap pada seorang laki-laki yang juga disukai oleh sahabatnya sendiri, meskipun dengan sikap bijaksana sahabatnya menawarkan perasaannya untuk dinomorduakan.

Ya, akhirnya sudah terdengar jelas ketika jawaban teguh dan yakin dari Dinda, menjawab pertanyaan Danil dengan jawaban yang tegas dan sesuai dengan harapannya. Ini memang menyakitkan, hati Kiza seolah pecah dan retak. Kata cinta itu akhirnya dia dengar dari Danil, tetapi bukan untuknya, melainkan untuk sahabatnya, Dinda.

Kiza menghapus air matanya dengan kilat, lalu menaruh uang dua puluh ribuan di atas menu-book, kemudian dia pergi dengan tergesa menuju mobil sembari membawa luka.

Kiza memasuki kamarnya dengan tergesa sembari menghapus air matanya yang terus-menerus mengalir. “Kiza kenapa, Pa?” Sekilas pertanyaan singkat dari Mama membuat Kiza berhenti sejenak di bagian tengah anak tangga. Lalu Kiza kembali berlari.

Mau Gaul tapi NGAMPUNG

Pubertas memang sudah menjadi kelaziman bagi setiap remaja. Apalagi yang baru masuk SMA, wuuuw.... tingkahnya, sikapnya, sifatnya, cara berpikirnya, cara berpenampilannya akan berubah secara drastis. Itu menurut tingkat survei yang dilakukan di hampir setiap sekolah menengah atas di daerah Jawa Barat, mungkin se-Indonesia.

Secara psikologi, tidak jarang dari mereka – remaja – yang bertingkah tidak karuan karena ingin dibilang hebat oleh orang lain, khususnya teman-teman sebayanya. Dan mereka juga cenderung ingin dibilang gaul, meskipun gaya mereka menyalahi aturan. Kalau tidak menuruti zaman, dibilangnya kuper – kurang pergaulan – kalau menuruti zaman sekarang, 2010 dan trendnya, dibilang banyak gaya. Itulah pendapat setiap orang, mungkin ada yang bilang gaul itu keren, bergaya sesuai dengan zamannya, memang boleh bahkan bagus, tapi harus disesuaikan dengan tempatnya. Betul? Hehehe.... J

Itulah yang terjadi di sekolah tempat Alika belajar, rata-rata semua siswa berpenampilan sok gaul, padahal nora. Itulah pikirnya. Alika memang cenderung orang yang tidak suka dengan orang yang banyak gaya, gaul memang oke tapi harus ada tempatnya. Di sekolahnya, Alika berperan sebagai seorang sekbid keamanan. Pekerjaannya ya ngekritik penampilan, khususnya penampilan siswi karena cenderung tingkah pubertas – dalam hal penampilan - siswi lebih menonjol.

“Dasar, mau ngota tapi kampungan.” Celetuk Alika pada temannya, Vey.

“Hiiihh... jadi muak liat mereka.” Balas Vey sembari masih melihati dua orang siswa baru yang tingkahnya sudah sangat kelewatan, itulah pendapat Alika dan Vey.

Kedua siswa baru itu adalah Eza dan Gebi. Tingkahnya sangat kelewatan, penampilannya aneh dan membuat teman-teman sekelas Alika merasa risi melihatnya. Dengan gaya rok yang dari panjang menjadi pendek – dipotong, - make-up yang berlebihan, ditambah dengan kelakuan mereka yang hampir di luar batas kesopanan.

Awalnya Alika memang berpikir kalau apa yang mereka lakukan itu adalah sebuah kewajaran, naik tingkat dari SMP ke SMA. Ya, maklum saja kalau mereka merasa ingin lebih unggul dari teman-temannya yang lain, karena pada saat masuk SMA pun Alika merasakan hal yang sama seperti Eza dan Gebi. Namun, setelah diikuti, tingkahnya semakin hari malah semakin aneh. Mulai dari penampilan yang seperti ke kondangan, sampai dari tingkah laku mereka yang sangat centil dan arogan.

*

Pada saat jam istirahat, Vey dan Alika keluar kelas menuju kantin sekolah, kebetulan anak dua itu sedang nongkrong di depan kantin. Celetuk Vey berkata pada mereka, “lah, gak punya yang lain tuh sepatunya?!” Tukas Vey sembari menyindir.

Dari seberang Eza menjawab dengan nada menyebalkan, “gak punya.”

“Hhmm.... apa gak ada sepatu yang lebih mahalan dikit?!” Ujar Alika sembari tersenyum sinis menatap mereka – Eza dan Gebi. –

“Huh, dasar anak kampungan, pengen gaya tapi ketinggalan zaman.” Ujar Alika ketika sudah berada di kantin. Vey pun hanya membalasnya dengan tertawa dan masih mendelik sinis kedua siswa baru itu.

“Vey, kayaknya kita udah harus menindaklanjuti kasus ini deh. Ini tuh udah kelewatan, mereka udah kita kasih tahu berapa kali coba?! Tapi tetep aja keras kepala. Dibilangin gak boleh pake sepatu gitu, malah terus aja dipake. Dasar koprol!” Alika rupanya masih sangat kesal dengan kejadian tadi, saat dia dan Vey menyindir mereka di depan kantin.

“Ah, dasar gak tahu malu. Muka tembok.” Ujar Vey dengan mimik muka menyeramkan. “Ka, gue udah punya rencana, gimana kalau nanti kita laporin langsung ke guru BP, biar sekalian dihajar. Soalnya kalau kita ngandelin OSIS bawaannya malah makin kesel.” Lanjutnya.

“Sip, mau kapan?” Tanya Alika dengan nada pasti.

“Besok.” Jawab Vey tegas.

Keesokan harinya, Vey dan Alika datang menemui Bu Farida yang notabene adalah guru BP di sekolah. Bu Farida terkenal guru paling tegas kalau berbicara masalah penampilan dan kesopanan. Dan ini adalah kesempatan mereka untuk mengadu langsung perihal masalah pubertas Eza dan Gebi yang keterlaluan.

Pada saat menceritakannya, Bu Farida menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya ampun, masih ada anak kayak gitu di zaman sekarang.” Ujarnya.

“Yah bu, ini sih wajar, namanya juga trendy 2010, tapi yang gak wajarnya tuh karena mereka berlebihan. Pubertas mereka akan sangat membahayakan anak-anak yang lain, Bu. Takutnya anak-anak, khususnya putri akan meniru gaya mereka yang kita pandang tidak ada tata kramanya.” Jelas Alika panjang lebar.

“Ya, Ibu paham. Nanti jam istirahat kalian panggil mereka berdua ke kantor BP, sekarang Ibu yang akan turun tangan.” Alika dan Vey pun saling menatap dan tersenyum.

Akhirnya, pada jam istirahat Eza dan Gebi dipanggil ke kantor BP menemui Bu Farida, mempermasalahkan pubertas mereka yang kelewatan. Alika dan Vey mengintip dari sela jendela yang sedikit terbuka. Dan mereka tertawa melihat anak dua bermasalah itu menunduk sambil memasang muka shock.

Finally, Eza dan Gebi pun terancam di skor kalau penampilan dan tingkah laku mereka masih di luar batas tata krama dan aturan sekolah. Huh, skor empat hari. Wah, lumaian... dan itu membuat Alika dan Vey merasa sangat bahagia, akhirnya virus-virus sekolah itu disidang guru BP.

Selesai